kami, segenap admin komunitas ISLAM SEJATI mengucapkan "Selamat Tahun Baru Islam, 1433 H"


الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah….” (Q.S.al-Taubah (9):20)

Tahun baru 1 Muharam 1433 Hijriyah sebentar lagi kita jelang. Sesungguhnya setiap menyambut datangnya tahun baru Hijriah selalu didahului oleh dua peristiwa penting dalam Islam, yaitu, Idul Fitri, 1 Syawal sebagai akhir puasa, dan Idul Adha, 10 Zulhijah puncak pelaksanaan ibadah haji.

Baik Idul Fitri maupun Idul Adha kalau diamati lebih dalam memiliki makna dan hubungan yang erat dengan satu Muharam, datangnya tahun baru Islam.
Seseorang yang akan pindah, selayaknyalah dia mempersiapkan bekal. Pindah untuk menuju satu tahun ke depan, tentu dia dituntut lebih siap lagi. Bekal yang diwajibkan Allah untuk persiapan satu tahun adalah ibadah puasa dan haji. Ibadah puasa bertujuan agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu, sedangkan ibadah haji untuk melawan dan menundukkan godaan syaitan yang terkutuk.
Puasa memang dikhususkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist,

”Pada bulan puasa syatan-syaitan diikat, sedangkan pintu-pintu Surga dibuka.” (H.R. Bukhari).

Allah mengikat syaitan selama bulan puasa agar seseorang memusatkan dirinya mengendalikan hawa nafsu yang berasal dari dalam dirinya, yaitu nafsu perut dan seks. Apabila masih terjadi kemaksiatan dimana-mana di bulan suci Ramadhan, berarti manusia-manusia itu sendiri tabiatnya sudah sama dengan syaitan, karena disebutkan dalam surat An-Naas [114]: ayat 6,

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

mengandung makna bahwa syaitan itu terdiri dari 2 golongan, golongan jin dan golongan manusia.
Setelah selesai mengendalikan hawa nafsu, diharapkan kita semua “lulus” dihari yang fitri (1 syawal) menjadi insan yang ber “taqwa” , kita kemudian dituntut untuk menghadapi dan bahkan melenyapkan musuh yang berasal dari luar, yaitu godaan syaitan. Kendati godaan syaitan dan nafsu sama-sama tidak tampak, keduanya berbeda dalam cara dan tujuan.
Syaitan tidak puas hanya dengan satu cara. Kalau gagal dengan satu cara, dia mencari jalan lain agar berhasil. Dan kalau sudah berhasil, dia berusaha agar hasil godaan itu semakin maksimal, syaitan tidak akan puas sebelum berhasil menyesatkan umat Mumammad sebanyak-banyaknya untuk masuk ke Neraka.
Berbeda halnya dengan nafsu. Jika sudah terpenuhi nafsunya, maka sang nafsu tidak menuntut yang lebih besar lagi. Misalkan seseorang yang mempunya nafsu makan karena lapar, dia hanya membutuhkan sepiring nasi untuk memenuhi nafsunya dan ketika seseorang bernafsu untuk mendapatkan suatu jabatan, akan merasa puas kalau jabatan itu sudah terpenuhi, dan seterusnya.
Cara untuk melawan godaan syaitan tidak dengan berpuasa, tetapi yang paling afdol dengan ibadah haji. Salah satu wajib haji adalah melempar jumrah di Mina yang melambangkan mengusir & melawan syaitan. Syaitan berada di luar diri kita. Karena itu, kita perlu mempersiapkan senjata untuk melawannya, yaitu batu. Dalam puasa, kita dituntut untuk mengendalikan hawa nafsu bukan melenyapkannya. Tapi, pada saat haji, kita dituntut untuk mengalahkan syaitan dan sekaligus melenyapkannya. Mengendalikan hawa nafsu diwajibkan setiap tahun, sedangkan memerangi syaitan hanya sekali seumur hidup dengan ibadah “haji”.
Setelah keduanya dapat ditaklukkan, berarti kita sudah siap hijrah ke tahun berikutnya. Dengan demikian, ketika menyambut tahun baru 1 Muharam, kita memulai kegiatan dengan bekal yang matang, program yang jelas, dan penuh dengan rasa percaya diri…dengan “hati yang bersih”
Sungguh Allah SWT telah mengatur urutan-urutan itu, yakni mulai dari perintah puasa dan Idul Fitrinya, kemudian Haji dan Idul Adha dengan menyembelih hewan qurban, akhirnya menyambut tahun baru Hijrah dalam puncak ke “taqwa”an.. Kondisi puncak ketaqwaan inilah yang harus kita pertahankan sejak memasuki tahun baru Hijriyah hingga 11 bulan kedepan sampai ketemu bulan suci Ramadhan lagi… Kondisi seperti ini…berulang-ulang sepanjang tahun, menjadi hamba Allah yang bertaqwa ini terus-menerus kita pertahankan hingga ajal menjemput kita.. insya Allah kalau bisa seperti ini… kita dimatikan Allah SWT dalam keadaan khusnul khatimah (akhir yang baik), amin.

Sejarah dan Semangat Hijrah
Bulan Muharram bagi umat Islam dipahami sebagai bulan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah 14 abad silam, yang sebelumnya bernama “Yastrib”. Sebenarnya kejadian hijrah Rasulullah tersebut terjadi pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal. Adapun pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah bulan yang pertama dalam kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.

Makna Tahun Baru
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka”. HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani.
Dari hadits di atas telah jelas bahwa umat Islam tidak boleh berprilaku sama atau menyerupai dengan kaum lain seperti halnya merayakan tahun baru masehi.
Islam memiliki penanggalan sendiri. Dalam sejarahnya, ketika Umar bin khathab ra. menjabat Kepala Negara mencapai tahun ke 5 beliau mendapat surat dari Sahabat Musa Al As’ari Gubernur Kuffah, adapun isi suratnya adalah sebagai berikut :
KATABA MUSA AL AS’ARI ILA UMAR IBNUL KHOTHOB. INNAHU TAKTIINA MINKA KUTUBUN LAISA LAHA TAARIIKH.
Artinya: Telah menulis surat Gubernur Musa Al As’ari kepada Kepala Negara Umar bin Khothob. Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari kamu beberapa surat-surat tetapi surat-surat itu tidak ada tanggalnya.
Kemudian Kholifah Umar bin Khothob mengumpulkan para tokoh-tokoh dan sahabat-sahabat yang ada di Madinah.
Umar bin Khothob untuk mengadakan musyawarah.”Didalam musyawarah itu membicarakan rencana akan membuat Tarikh atau kalender Islam. Dan didalam musyawarah muncul bermacam-macam perbedaan pendapat. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Ada yang berpendapat sebaiknya tarikh Islam dimulai ari tahun lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rosululloh. Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Rosululloh di Isro Mi’roj kan .
Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Imam Ali Karamallohu Wajha berpendapat, sebaiknya kalender Islam dimulai dari tahun Hijriyahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah atau pisahnya negeri syirik ke negeri mukmin. Pada waktu itu Mekkah dinamakan Negeri Syirik, bumi syirik.
Akhirnya musyawarah yang dipimpin oleh Amirul Mukminin Umar Bin Khothob sepakat memilih awal yang dijadikan kalender Islam adalah dimulai dari tahun Hijriyah nya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Kemudian kalender Islam tersebut dinamakan Tahun Hijriyah.
Dengan mengetahui sejarah di atas, maka selaku umat Islam seharusnya kita dapat berbuat dan bertindak dengan cermat untuk memaknai pergantian tahun. Terutama tahun baru Islam.

Meluruskan Sejarah Muharam

Terdapat 2 (dua) pendapat berkenaan dengan bulan Muharam. Kelompok pertama menyebutkan bahwa bulan Muharam merupakan tahun baru umat Islam yang banyak dirayakan dengan pesta dan penuhnya ungkapan kebahagiaan. Mereka beranggapan bahwa hari-hari kejayaan Islam sedang berada di depan pintu.
Rasulullah saw bersabda, “Kalian akan mengikuti cara-cara orang kafir sesiku-sesiku, sejengkal-demi sejengkal kalian akan digiring untuk mengikuti tradisi orang kafir (Yahudi dan Nasrani) sehingga walaupun kalian dibawa ke lubang serigala kalian akan mengikutinya dengan patuh.” Al-Asykari menyebutkan salah satu tradisi orang Yahudi dan Nasrani adalah mengubah-ubah kitab Allah. Kemudian orang Islam melanjutkan tradisi orang kafir itu dengan mengubah makna kitab Allah, dan mengubah huruf serta kalimat di dalam hadis Nabi. Tradisi peringatan tahun baru Islam sebenarnya mengikuti tradisi orang Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya di dalam Islam tidak ada tradisi memperingati tahun baru Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa nenek moyang kita pun tidak memperingatinya, bahkan dalam sejarah Islam di Indonesia tidak dikenal tradisi memperingati tahun baru Islam ini. Peringatan tahun baru Islam itu baru dirayakan belakangan ini. Mengapa harus merayakannya? Salah seorang dai menyebutkan bahwa “umat Islam jangan kalah sama umat Nasrani yang memperingati tahun barunya secara besar-besaran dan Umat Islam harus memperingati tahun baru Islam secara besar-besaran pula”. Jadi, menurut dia, peringatan tahun baru meniru orang Nasrani. Nabi berkata, ”Sekiranya di kalangan ahli kitab itu dulu ada anak yang menzinahi ibunya, maka akan terjadi hal yang sama di kalangan umat Islam juga.” Tradisi membuka aurat, tidak memakai jilbab boleh jadi diambil sebagian dari tradisi meniru orang-orang Barat.
Ada beberapa kekeliruan anggapan umat Islam tentang tahun baru Islam. Kekeliruan pertama bahwa tradisi peringatan tahun baru Islam harus dirayakan seperti halnya orang Nasrani merayakan tahun barunya. Kedua, umat Islam banyak yang menganggap bahwa hijrah Rasulullah saw terjadi pada bulan Muharam, sehingga pada bulan ini banyak pengajian yang menceritakan peristiwa hijrahnya Nabi saw. Nabi hijarah bukan pada bulan Muharam, melainkan pada bulan Rabi’ul Awal. Tidak ada satu pun mazhab yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah pada bulan Muharam. Jadi, kalau ingin memperingati hijrah Nabi semestinya dirayakan pada bulan Rabi’ul Awal. Kekeliruan itu mungkin memiliki asal muasalnya dari kitab-kitab hadis. Di dalam Bukhari diceritakan ketika Nabi datang ke kota Madinah dan beliau melihat di kota itu ada orang-orang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya kepada mereka, ”Puasa apa yang kalian kerjakan?” Mereka menjawab, ”Kami melakukan puasa ‘Asyura (sepuluh Muharam), untuk mensyukuri keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.” Nabi saw berkata, ”Aku lebih layak untuk melakukan puasa daripada saudaraku Musa.” Dalam riwayat lain Nabi berkata, ”Aku akan berpuasa pada waktu yang akan datang.” Hadis ini mesti kita tolak, karena Nabi itu hijrah pada bulan Rabi’ul awal, tidak mungkin orang puasa sepuluh Muharam pada bulan Rabi’ul Awal, semesti tidak mungkinnya orang salat Jumat pada hari Senin. Karena alasan hadis itulah, sekelompok orang mengembangkan satu ideologi untuk menjadikan sepuluh Muharam hari kemenangan umat Islam, hari untuk pesta pora, dan hari untuk berbahagia.
Sebagian mubalig pun menceritakan bahwa tanggal sepuluh Muharam Nabi Musa diselamatkan dari Fir’aun, Ibrahim diselamatkan dari Namrudz dan Nabi Nuh selamat dari air bahnya, dan Nabi Adam diampuni dosa-dosanya. Sepuluh Muharam dianggap sebagai hari kemenangan orang-orang saleh. Sehingga tidaklah heran bahwa pada tanggal sepuluh Muharam dipindahkan menjadi tahun baru Islam karena kemenangan orang-orang saleh.
Pendapat kedua, berkenaan dengan bulan Muharam, mereka beranggapan bahwa bulan ini adalah bulan duka cita, bulan musibah. Karena pada bulan ini keluarga Rasulullah saw dibantai secara mengenaskan oleh sesama muslim, orang yang menyatakan dirinya orang Islam. Peristiwa ini terjadi pada tanggal sepuluh Muharam.
Sepuluh Muharam, menurut kelompok ini, bukanlah hari untuk bercanda dan bergembira, melainkan hari untuk menangis dan berduka cita. Pada kelompok kedua tidak ditemukan hadis-hadis yang menyatakan sepuluh Muharam itu adalah hari kemenangan para nabi. Yang mereka ketahui pada hari itu, kalau kemenangan diukur dengan kekejaman dan kekuasaan yang tidak terbatas, maka apakah sepuluh Muharram memang hari kemenangan ?. Karena ini terbukti Nabi Hijrah pada bulan Rabiul awal bukan pada bulan Muharram mengapa hal ini terjadi ? adakah kebenaran dalam risalah perayaan ini atau kegembiraan yang selama ini kita rayakan bersama ?

Memang kita bisa merasakan bedanya peristiwa penyambutan tahun baru Masehi dan tahun baru Islam (Hijriah). Tahun baru Islam disambut biasa-biasa saja, jauh dari suasana meriah, tidak seperti tahun baru Masehi yang disambut meriah termasuk oleh masyarakat muslim sendiri. Sebagai titik awal perkembangan Islam, seharusnya umat Islam menyambut tahun baru Islam ini dengan semarak, penuh kesadaran sambil introspeksi, merenungkan apa yang telah dilakukan dalam kurun waktu setahun yang telah berlalu.
Tapi ada satu kelebihan yang masih banyak dilakukan di beberapa pondok pesantren dan beberapa pengajian majelis ta’lim dalam memperingati tahun baru Islam (Hijriah), yaitu pada penghayatan makna peringatan itu sendiri untuk bisa dijadikan sebagai sarana instrospeksi diri. Sebaliknya, di awal tahun baru Masehi, pada umumnya yang ditonjolkan hanya aspek yang berkaitan dengan duniawi, kulit luarnya saja.
Banyak manusia yang terlena oleh momen pergantian tahun. Waktu penting yang seharusnya dijadikan sarana instrospeksi diri, malah telah disalahgunakan sebagai sikap melampaui batas, berhura-hura semalam suntuk hingga terbit matahari…bukannya untuk mendekatkan diri…memohon ampun kepada Allah SWT, tapi malah sebaliknya, mengatas namakan kegembiraan, mereka melupakan nikmat Allah dengan menggelar kemungkaran dan sikap-sikap yang membawa kehancuran dan amarah Allah… naudzubillahimindaliq.
Dalam bahasa Arab, hijrah bisa diartikan sebagai pindah atau migrasi. Tafsiran hijrah disini diartikan sebagai awal perhitungan kalender Hijriyah, sehingga setiap tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagi hari besar Islam. Memang, sejak hijrahnya Rasulullah ke Yatsrib, sebuah kota subur, terletak 400 kilometer dari Makkah, Islam lebih memfokuskan pada pembentukan masyarakat muslim yang tidak kampungan dibawah pimpinan Rasulullah.
Itulah sebabnya kota Yastrib dirubah namanya menjadi Al-Madinah yang artinya kota” atau lebih tenar lagi disebut kota Rasulullah. Inilah satu nilai yang sangat penting kenapa hijrah dijadikan sebagai titik awal terbitnya fajar baru peradaban umat Islam. Terbitnya fajar baru ini berkat hijrah. Maka hijrah dengan demikian selalu membuat perubahan. Hijrah merupakan usaha dan semangat besar manusia yang ingin merubah masyarakat yang beku menjadi manusia yang maju, sempurna dan bersemangat.
Jadi inti dari peringatan tahun baru Hijriah adalah pada soal perubahan, maka ada baiknya momen pergantian tahun ini kita jadikan sebagai saat saat untuk merubah menjadi lebih baik. Itulah fungsi peringatan tahun baru Islam.
Ada 3 pesan perubahan dalam menyambut tahun baru Hijriah ini, yaitu:

  1. Hindari kebiasaan-kebiasaan lama / hal-hal yang tidak bermanfaat pada tahun yang lalu untuk tidak diulangi lagi di tahun baru ini.
  2. Lakukan amalan-amalan kecil secara istiqamah, dimulai sejak tahun baru ini yang nilai pahalanya luar biasa dimata Allah SWT, seperti membiasakan shalat dhuha 2 raka’at, suka sedekah kepada fakir miskin, menyantuni anak-anak yatim, dll.
  3. Usahakan dengan niat yang ikhlas karena Allah agar tahun baru ini jauh lebih baik dari tahun kemarin dan membawa banyak manfaat bagi keluarga maupun masyarakat muslim lainnya.

Berbicara tentang perkembangan Islam, tentu tidak bisa lepas dari peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Dakwah Nabi di Makkah pada saat itu banyak mengalami rintangan berupa tantangan dan ancaman dari kaum musyrikin dan kafir Quraisy. Selama kurun waktu 12 tahun sejak Nabi diutus, dakwah Rasulullah tidak mendapat sambutan menggembirakan, bahkan sebaliknya banyak menghadapi terror, pelecehan, hinaan, dan ancaman dari kaum musyrikin dan kafir Quraisy yang dikomandani oleh papan Nabi sendiri, yaitu Abu Lahab.
Karena itu, Rasulullah diperintahkan Allah SWT untuk pindah (hijrah). Akhirnya, beliau meninggalkan kota kelahiranya Makkah, berhijrah ke kota Madinah. Di Madinah, Nabi dan para sahabat Muhajirin mendapat sambutan hangat oleh kaum Anshar (penduduk asli Madinah).
Agama Islam pun mengalami perkembangan amat pesat. Dalam kurun waktu relatif singkat, hanya sekitar 8 tahun, suara Islam mulai bergema ke seluruh penjuru alam dan Islam pun berkembang meluas ke seluruh pelosok permukaan bumi. Karena itu tidak mengherankan jika peristiwa hijrah merupakan titik awal bagi perkembangan Islam dan bagi pembentukan masyarakat muslim yang telah dibangun oleh rasulullah.
Menurut para pakar sejarah, masyarakat muslim, kaum Muhajirin dan Anshar, yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah merupakan contoh masyarakat ideal yang patut ditiru, penuh kasih sayang, saling bahu-membahu dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan peribadi. Karena itu, tidak mengherankan jika Khalifah Umar bin Khattab menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan tahun baru Islam, yang kemudian dikenal dengan tahun baru Hijriah,

Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. ” (Al-Hujurat [49]: ayat 13)

Umat manusia kadang-kadang terjebak kepada sesuatu yang bersifat jangka pendek, dan melupakan sesuatu yang bersifat jangka panjang. Manusia sering tergesa-gesa dan ingin cepat berhasil apa yang diinginkannya, sehingga tidak sedikit yang menempuh jalan pintas. Islam menekankan bahwa hidup ini adalah perjuangan dan dalam berjuang pasti banyak tantangan dan rintangan.
Bagi kita umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi berhijrah berbondong-bondong seperti jijrahnya rasul, mengingat kita sudah bertempat tinggal di negeri yang aman, di negeri yang dijamin kebebasannya untuk beragama, namun kita wajib untuk hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratul amaliyah” yaitu perpindahan secara spiritual dan intelektual, perpindahan dari kekufuran kepada keimanan, dengan meningkatkan semangat dan kesungguhan dalam beribadah, perpindahan dari kebodohan kepada peningkatan ilmu, dengan mendatangi majelis-majelis ta’lim, perpindahan dari kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi, dengan kerja keras dan tawakal.
Pendek kata niat yang kuat untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan umat sehingga terwujud “Rahmatal lil alamin” adalah tugas suci bagi umat Islam, baik secara indifidual maupun secara kelompok. Tegaknya Islam dibumi nusantara ini sangat tergantung kepada ada tidaknya semangat hijrah tersebut dari umat Islam itu sendiri.
Semoga dalam memasuki tahun baru Hijriah yakni tahun 1433 Hijriyah ini, semangat hijrah Rasulullah SAW, tetap mengilhami jiwa kita menuju kepada keadaan yang lebih baik dalam segala bidang, sehingga predikat yang buruk yang selama ini dialamatkan kepada umat Islam akan hilang dengan sendirinya, dan pada gilirannya kita diakui sebagai umat yang terbaik, baik agamanya, baik kepribadiannya, baik moralnya, tinggi intelektualnya dan terpuji.

Akhirnya selamat tahun baru Islam, 1433 H, semoga kita semua berada dalam keberkahan Allah swt. Amiin.

0 komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak anda dengan berkomentar disini, saya harap dengan menggunakan bahasa yang baik, tidak berbau kasar ataupun yang lainnya.